Wednesday, July 15, 2015

Nastar A la Warteg Gaziantep


Assalamualaikum.

Alhamdulillah lebaran lagi. Kali ini lebaran saya tambah semarak dengan hadirnya Nastar.

Rasanya semua orang Indonesia sudah paham kalau nastar adalah kue kering wajib yang disajikan di hari raya Idul Fitri. Kita bisa menemukannya di kota bahkan hingga ke pelosok kampung. Tentunya dengan cita rasa masing-masing. Orang Indonesia yang di luar negeri pun takkan mau ketinggalan menyiapkan nastar sebagai salah satu hidangan menjamu tamu di hari raya. Malah ada sedikit rasa bangga kalau bisa pamer makanan khas tanah air kepada tamu dan kerabat yang adalah orang asing. Sekalian memperkenalkan Indonesia.

Buat saya pribadi, nastar bukanlah sekedar makanan wajib hari raya atau bagian dari pamer masakan Indonesia. Nastar adalah nostalgia yang penuh sejarah dan romantika. Romantisnya akan mengalahkan kisah Romeo dan Juliet karena mereka pastinya belum pernah dan tidak akan pernah merasakan nastar.

Sebenarnya tidak ada peraturan yang mewajibkan ibu-ibu dan remaja putri Indonesia menyiapkan nastar untuk lebaran hingga mereka berlelah-lelah di hari puasa Ramadhan mereka demi setoples dua toples nastar dan kue-kue lainnya. Entah siapa yang memulai perkara manis nan mengenyangkan perut serta menyenangkan hati ini. Yang pasti, almarhumah nenek saya selalu sengaja membuat nastar dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri dengan embel-embel, "ini untuk cucu." Dan cucu yang dimaksud itu adalah saya. Tentu saja saya, siapa lagi? Sayalah yang setiap kali kami mudik ke rumah nenek, sibuk membuka toples berisi nastar dan memakannya satu demi satu. Apalagi kalau tidak ada lagitamu yang datang berkunjung. Saya akan mengambil si toples berisi nastar, memegangnya erat-erat sambil mencari posisi nyaman di depan televisi kecil yang menayangkan film-film Bo Bo Ho, dan mengunyah si nastar hingga ludes. Dan itu terjadi setiap tahun sampai nenek akhirnya sakit dan tak bisa lagi begadang memanggang kue-kue lebaran.

Tak hanya di rumah nenek dan di rumah kami, di rumah calon suami bibik saya pun, saya bisa menemukan nastar. Waktu itu bibik saya memang tinggal bersama kami di Jakarta dan beliau sedang menjalin kasih dengan pemuda manis yang ibunya juga suka memanggang nastar. Ketika saya diajak ke rumah pemuda itu, saya lihat toples-toples gendut berisi nastar menghiasi lemari kaca. Rasanya ingin sekali mencicipi tapi saya tak berani. Konon ibu si pemuda itu adalah perempuan judes.

Sebelum nenek akhirnya berpulang ke rahmatullah, saya pun mulai berusaha membuat sendiri nastar, kue favorit saya. Tentu saja, saya ingin ukuran nastar yang mungil-mungil dengan isi selai nanas yang banyak. Perlu diketahui, nastar idola saya adalah nastar klasik bulat-bulat dengan batang cengkeh di atasnya. Ketika saya mulai mencoba membuat nastar sendiri, saya tak menggunakan batang cengkeh karena tidak ada yang mau makan si batang itu. Biasanya setelah ia dicongkel dari nastar yang seksi dan menggoda itu, si batang cengkeh disingkirkan. Ia tergeletak pasrah di piring atau di asbak. Jadi, demi menjaga perasaan si batang cengkeh, saya pun tak memakainya lagi.

Rasa cinta yang mendalam terhadap nastar ini pun saya wujudkan dalam acara masak-memasak di sekolah. Saya dan teman-teman membuat nastar dari singkong. Sebuah ide yang sangat kreatif, bukan? Ya, resep yang saya temukan di majalah milik ibu saya itu memang unik. Nastar memang tiada duanya.

Hubungan saya dengan nastar mencapai klimaksnya ketika saya memutuskan untuk kembali memanggang nastar di bulan Ramadhan bertahun-tahun yang lalu. Habis sahur dan sholat subuh, saya putuskan untuk membuat nastar. Bahan-bahan sudah siap. Tak lama nastar-nastar mungil nan cantik siap dipanggang. Masa itu, saya menggunakan oven tangkring dan kompor minyak tanah butut milik ibu saya. Si kompor sudah sedemikian butut tapi masih bekerja dengan baik. Oleh karena itu saya berani menggunakannya. Tapi, si oven memang terlihat lebih besar dari si kompor butut. Ah, itu mungkin perasaan saya saja. Ronde pertama memanggang, nastar terlihat benar-benar cantik. Mereka membuat saya makin semangat meneruskan pekerjaan mulia itu. Lalu tiba-tiba, oven oleng dan jatuh ke kiri. Si kompor pun ikut rebah sehingga minyak tanah keluar dan api menjilatnya. Kebakaran! Tubuh saya kaku. Saya tak tahu apa yang terjadi. Ibu saya datang tergopoh-gopoh lalu menarik tabung gas dan menyelamatkannya. Apa yang akan terjadi jika api juga menggoda si tabung gas? Ya, Tuhan! Tetangga sebelah rumah lalu datang dengan karung basah. Ia langsung melempar si karung ke atas kompor yang menyala. Apinya sudah menjilat pintu-pintu lemari dapur hingga mereka hangus menghitam. Tak lama api berhasil dijinakkan. Tidak dengan nastar saya. Gagal total. Saya tak sudi lagi melanjutkan acara memanggang nastar. Badan saya lemas bagai tak bertulang. Kejadian itu benar-benar menghantui saya. Apalagi lokasi kejadian dibiarkan apa adanya hingga beberapa waktu. Mereka menjadi monumen dan saksi bisu kecerobohan saya. Tak ada lagi acara memanggang nastar atau kue-kue lebaran lainnya. Jika lebaran tiba, ibu memutuskan untuk membeli kue kering dari tetangga sehingga kami tak perlu susah payah menyiapkannya sendiri.


Tahun ini, setelah lebih dari satu dekade berlalu dan terpisah jarak ribuan mil dari tanah air, saya kembali memanggang nastar. Itupun tak selalu sukses. Saya merindukan nastar-nastar mungil dan cantik yang terbakar itu. Saya merindukan nenek dan suasana lebaran bersama beliau di rumahnya di Bandung. Nastar akhirnya menjadi memento cinta dan kenangan manis masa lalu. Saya pandangi setoples nastar gendut dengan batang cengkeh di atasnya yang sepagian tadi saya buat. Ya, saya kembali menaruh batang cengkeh demi semua kenangan yang pernah kami lalui bersama. Nastar buatan saya tak seseksi dan secantik nastar-nastar di tanah air, tak selezat atau senikmat nastar buatan juru masak piawai. Tapi nastar-nastar itu menghadirkan rasa hangat suasana lebaran di tanah air dan cinta serta air mata yang hadir karenanya.

Nah buat yang mau coba nastar buatan saya, berikut ini resepnya.

Nastar
Bahan:
250 g mentega, suhu ruang
1 telor
1 gelas belimbing gula bubuk
3,5-4 gelas belimbing terigu
Batang cengkeh secukupnya
1 telor, kocok, untuk mengoles

Isian:
1 buah nanas, parut
Gula secukupnya
1 batang kayu manis

Cara membuat:
1. Isian: Masak nanas yang sudah diparut (dihaluskan, bisa dengan bantuan chopper) bersama gula sesuai selera dan kayu manis hingga nanas kering. Angkat dan dinginkan. Masukkan ke dalam lemari es. Pada saat membuat nastar, bentuk selai menjadi bola-bola agar mudah dimasukkan ke dalam adonan nastar.
2. Campur mentega, telor dan gula bubuk. Aduk rata (gunakan sendok kayu untuk mengaduk).
3. Tambahkan terigu sedikit demi sedikit hingga adonan bisa menyatu, dipulung tapi tetap lembut.
4. Ambil adonan sebesar bola ping pong, ratakan di telapak tangan dan isi dengan selai nanas. Tutup.
5. Tata di loyang, oles dengan telor kocok dan beri batang cengkeh. 
6. Panggang selama 20-25 menit dengan suhu 180 der C.
7. Keluarkan dari oven jika warna nastar  sudah kecoklatan.



posted from Bloggeroid

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...